Thursday, February 03, 2005

Kisah Menjadi "Pejantan Tangguh" (end)

Langit berubah kelam, tak lama gerimis menyibak celah-celah hitamnya awan. Sebentar saja, hujan turun dengan derasnya mengurapi bumi. Dalam hujan, desau angin terdengar kencang sekali. Beberapa kali pula, halilintar menggelegar dan memekakkan telinga. Aku pun segera berlari dan berteduh di emperan pertokoan di dekat sebuah terminal. Bergabung dengan begitu banyak wajah-wajah yang juga tampak mengeluh karena hujan menghambat mereka untuk segera pulang ke rumah.

Namun...
Terdengar kecipak-kecipak kaki menyibak genangan air, dan kemudian terlihat wajah-wajah mungil yang berseri-seri. Tampak bocah-bocah kecil mengenakan kaos yang sedikit robek dan bercelana pendek, serta tak sedikit yang bertelanjang dada. Kaki-kaki tanpa alas itu berlari mengejar bus-bus yang baru tiba seraya berteriak, "Payung... payung...!!!"

Mereka juga berlari dengan semangat ke sana ke mari sambil menggenggam payung yang berukuran besar dibandingkan dirinya sendiri. Kulihat mereka meminjamkan payung besarnya itu setelah tawar menawar kepada yang ingin menggunakan jasanya. Setelah memberikan payungnya, mereka berlari di belakang dan mengikuti orang yang menyewa dengan langkah-langkah kecil setengah berlari.

Tak urung mereka terlihat menggigil kedinginan karena hujan sebesar butiran jagung menimpa tubuh kecilnya. Sehingga, berkali-kali diusapnya air hujan yang membasahi wajah dan sekujur tubuhnya. Walaupun paras wajahnya tampak pucat, namun kulihat senyum mereka tetap mengembang. Setelah menerima uang, lantas mereka berlari untuk mencari orang yang mau meminjam payungnya kembali.

Anak-anak payung yang selalu muncul di musim hujan itu sama sekali tak kulihat mengeluh, karena bagi mereka memang tak ada waktu untuk itu. Padahal belum saatnya bagi mereka di usia yang masih begitu muda kalau harus mencari uang demi keluarga atau kebutuhan sekolah.

Aku tersenyum menyaksikan kegigihan mereka sambil menahan malu di dada. Betapa banyak nikmat dan rezeki yang telah diterima selama ini tak membuatku tambah bersyukur, malah menghabiskan waktu dengan lebih banyak mengeluh. Padahal apa sih yang kurang? Rasanya aku tak terlalu tangguh untuk menghadapi setiap permasalahan yang muncul, karena hanya bisa mengeluh dan selalu mengeluh.

Bocah-bocah kecil itulah sesungguhnya pejantan-pejantan tangguh. Mereka tak pernah ragu dan mengeluh karena harus menantang kehidupan yang keras serta terkadang angkuh. Aku kembali tersenyum lalu bergumam seraya menatap mereka, "Ajari aku 'tuk jadi pejantan tangguh."

Ups...
Tanpa sadar, terpal plastik yang melindungiku dari hujan tak mampu lagi menampung air. Tali yang mengikat terpal pada rangka itupun terlepas, dan aku yang berlindung di bawahnya menjadi basah. Dengan gelagapan aku berlari menjauhinya, namun...

"Okinasai... okinasai..."(" ayo bagun... ayo bangun...") terdengar suara entah di mana, karena terdengar begitu pelan. Mataku mengerjap-ngerjap dan masih setengah sadar. Mimpi tentang kehidupan pejantan-pejantan tangguh di Jakarta pun perlahan buyar, lalu kembali ke dunia nyata. Samar-samar, tampak seraut wajah yang berkacamata tebal dengan bingkai berwarna hitam, dan kepalanya sedikit botak sambil memegang sebuah botol berisi sisa minuman mineral.
Huwaaa...!!!
Wallahu a'lam bishowab